Ukuran Huruf: Risang Tunggul Manik Dualisme kepemimpinan Soekarno-Soeharto pada tahun 1966-1967 identik dengan adanya dua pemimpin dengan kewenangan yang sama sebagai kepala pemerintahan yaitu Soekarno yang menjabat sebagai Presiden dan Soeharto yang menjadi pengemban Surat Perintah 11 Maret. Meningkatnya wewenang Pengemban SP 11 Maret inilah yang menjadi fokus utama kajian dalam pembahasan Dualisme kepemimpinan 1966-1967 hingga berakhirnya. Alasan peneliti mengkaji dualisme kepemimpinan antara Soekarno dan Soeharto karena masih belum adanya penelitian terdahulu yang lebih memfokuskan pada topik dualisme kepemimpinan secara lebih mendalam. Pentingnya penelitian ini juga terkait dengan permainan politik yang terjadi dalam MPRS dan DPRG yang didominasi oleh AD untuk meningkatkan wewenang Soeharto dan mengikis kekuasaan Presiden Soekarno. Peneliti juga tertarik membahas dualisme kepe-mimpinan, hal ini dikarenakan penulisan sejarah sebelumnya banyak didominasi penguasa Orde Baru. Oleh sebab itu, munculnya berbagai interpretasi mengenai tulisan sejarah saat ini diharapkan mampu memberikan keterbukaan akan inter-pretasi baru. Permasalahan yang peneliti kaji dalam penelitian ini ialah pertama, bagaimanakah situasi politik Indonesia antara tahun 1957-1966 sebagai latar belakang dualisme kepemimpinan, kedua bagaimanakah terjadinya dualisme kepemimpinan antara Soekarno-Soeharto dan yang ketiga bagaimanakah akhir dari dualisme kepemimpinan tersebut. Jenis penelitian dalam kajian ini ialah penelitian sejarah dengan menggunakan metode studi kepustakaan dan metode historis. Metode studi kepustakaan (library research) yaitu menggali sumber data dengan merujuk dari bahan-bahan pustaka dan referensi lain yang relevan. Metode ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari berbagai sumber pustaka yang kemudian disajikan dengan cara baru dan atau untuk keperluan baru. Peneliti juga menggunakan metode historis dengan tahapan penelitian sejarah. Hasil dari penelitian ini adalah mengenai situasi politik Indonesia antara tahun 1957-1966 yang memberikan gambaran mengenai dominasi Angkatan Darat dalam pemerintahan. Dominasi tersebut berpengaruh pada konflik dengan PKI karena AD merasa bahwa PKI dapat mengancam politiknya. Presiden Soekarno juga merasa bahwa dominasi AD dapat mengancam kekuasaannya, sehingga Presiden mendukung PKI dalam berkonflik dengan AD. Pada akhirnya, munculnya Soeharto sebagai kekuatan baru dalam AD menjadi tokoh yang mampu menumpas G 30 S dan menghancurkan PKI yang merupakan pendukung politik Soekarno. Dualisme Kepemimpinan Soekarno-Soeharto diawali dengan perbedaan penafsiran mengenai Surat Perintah 11 Maret 1966 diantara keduanya. Soeharto Please register PDFcamp on http://www.verypdf.com/, thank you.menganggap bahwa SP 11 Maret merupakan penyerahan kekuasaan, sedangkan Soekarno merasa bahwa SP 11 Maret hanyalah perintah pengamanan belaka. Tindakan Soeharto sebagai Pengemban SP 11 Maret seperti pembubaran PKI secara de facto merupakan suatu dualisme kepemimpinan. Hal ini dikarenakan sesuai dengan Penetapan Presiden No. 7 tahun 1959 bahwa sebenarnya Presiden yang berwenang membubarkan partai, sedangkan isi dari SP 11 Maret sebenarnya hanyalah merupakan perintah Presiden dan tidak menunjukkan peningkatan wewenang Soeharto. Wewenang Soeharto sebagai Pengemban SP 11 Maret selanjutnya meningkat setelah MPRS yang didominasi AD bersidang dan menghasilkan Ketetapan yang menimbulkan dualisme kepemimpinan secara de jure. Ketetapan MPRS diantaranya dalam hal pembentukan Kabinet Ampera yaitu Presiden bersama-sama Pengemban SP 11 Maret diberi wewenang membentuk kabinet. Kenyataannya, Soeharto yang merupakan ketua presidium kabinet selanjutnya memimpin kabinet dan menguasai jalannya pemerintahan. Tindakan Soeharto pada akhir masa dualisme kepemimpinan yaitu berhasil mempersatukan politik AD dalam Doktrin Tri Ubaya Cakti dan konsep Orde Barunya. Tindakan Soeharto selanjutnya yaitu dengan mengadili para pendukung terdekat Soekarno mengenai keterlibatannya dalam peristiwa G 30 S/PKI. Dalam pengadilan tersebut, Soekarno secara tidak langsung didiskreditkan mendukung G 30 S/PKI yang menyebabkan semakin berkurangnya pendukung dirinya. Soekarno kemudian merasa terdesak dan menyerah pada keadaan yang terjadi, ia menyerahkan kekuasaan eksekutif pada Soeharto. Akhirnya MPRS mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1966 dalam Sidang Istimewa yang mencabut kekuasaan eksekutif dari Presiden Soekarno. Berakhirlah Dualisme Kepemimpinan yang terjadi dengan diangkatnya Soeharto menjadi Pejabat Presiden. Untuk penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan agar sumber-sumber primer dapat digali kembali sehingga diharapkan dapat menemukan sesuatu yang baru mengenai Dualisme Kepemimpinan 1966-1967. Salah satu kondisi yang menandai masa transisi 1966-1967 adalah dualisme kepemimpinan nasional. Bentuk dualisme kepemimpinan nasional tersebut dapat dilihat pada peristiwa?
Jawaban: A. pembentukan kabinet Ampera Dilansir dari Encyclopedia Britannica, salah satu kondisi yang menandai masa transisi 1966-1967 adalah dualisme kepemimpinan nasional. bentuk dualisme kepemimpinan nasional tersebut dapat dilihat pada peristiwa pembentukan kabinet ampera. Amatilah lingkungan di sekitar anda dan lihatlah ada perubahan yang terjadi dan lihatlah apa yang berlanjut. Berikan contohnya Mohon dibantu besok s … tolong dibantu ya kaka kaka, Analisis rute pelayaran Portugis dan spanyol ! Apakah sama atau berbeda? berikan penyebabnya ! bagaimana posisi kerajaan demak dan banten dalam jalur perdagangan apa hubungan hasil budaya manusia pra aksara dengan hasil budaya manusia modern ? Allah Subhanahu Wa Ta'ala mempunyai 3 tempat yang terdapat dalam surah at-tin sebagai tempat turunnya hukum melihat teman pacaran dalam agam islam. romance live depan mata Mau tanya foto profil saya di aplikasi ini apa ya di aplikasi tidak muncul trim mata pencaharian masyarakat indonesia sebelum datangnya islam dipengaruhi letak Jelaskan fenomena tersebut dengan menggunakan prinsip korologi! |